Selasa, 08 November 2011

Wisata Alam
Goa Seplawan terletak di Desa Donorejo, Kecamatan Kaligesing dengan jarak tempuh + 20 km ke arah Timur dari pusat kota Purworejo dengan ketinggian 700 m dpl sehingga udaranya sangat sejuk. Goa ini memiliki ciri khusus berupa ornamen yang terdapat di dalam goa, antara lain staklatit, staklamit, flowstone, helekit, soda straw, gower dam dan dinding-dindingnya berornamen seperti kerangka ikan. Panjang Goa Seplawan + 700 m dengan cabang-cabang goa sekitar 150-300 m dan berdiameter 15 m. Goa alam yang sangat menakjubkan ini menjadi semakin terkenal dengan diketemukannya arca emas Dewa Syiwa dan Dewi seberat 1,5 kg pada tanggal 28 Agustus 1979 yang sekarang arca tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta.


Tempat lain yang juga terkait dengan sejarah Kabupaten Purworejo adalah Goa Seplawan, yang berada di wilayah Desa Donorejo, Kecamatan Kaligesing. Goa ini menjadi istimewa karena disebut-sebut dalam Prasasti Kayu Arahiwang. Dalam prasasti itu dengan jelas disebutkan bahwa salah satu tempat yang harus dijaga karena kesuciannya adalah Goa Seplawan.

Dan agaknya hal itu memang benar. Karena saat pertama kali ditemukan pada tanggal 28 Agustus 1979, di dalam salah satu lorong goa ditemukan sebuah arca sepasang dewa dewi yang terbuat dari emas murni. Keberadaan patung sepasang dewa dewi yang tak lain adalah Dewa Syiwa dan Dewi Parwati ( seberat 1,5 kg ) tersebut, menunjukkan kalau Goa Seplawan sebelumnya dijadikan sebagai tempat pemujaan.

Patung itu kemudian dibawa ke Jakarta dan disimpan di Musium Nasional Jakarta. Sebagai gantinya pemerintah membuatkan replika patung itu tepat di depan mulut goa. Tujuannya adalah untuk mengingatkan kepada para pengunjung bahwa goa ini pada dasarnya adalah tempat suci yang disakralkan oleh masyarakat pada zaman dulu. Selain sakral, goa ini juga memiliki keindahan yang sangat luar biasa. Hamparan stalaktit dan stalagnit di setiap lorong goa, menciptakan kesan tersendiri bagi para pengunjung goa. Tak hanya itu gemericik air yang menetes dari bebatuan penyusun goa mampu menenangkan hati siapapun yang masuk ke dalamnya.

Goa ini memiliki panjang + 700 meter dengan cabang-cabang goa sekitar 150 – 300 meter dan berdiameter 15 meter. Sehingga untuk masuk ke dalam goa, pengunjung harus menyusuri anak tangga menurun yang cukup melalahkan. Yang mana rasa lelah itu akan segera hilang begitu mulai memasuki mulut goa. Sebab dari mulut goa itu saja keindahan ukiran batu di dalam goa sudah terlihat jelas.

Makanya tak heran kalau pengunjung betah berlama-lama tinggal di dalam goa tersebut. Bahkan terkadang ada orang yang sengaja masuk dan tinggal selama beberapa hari di dalam goa untuk melakukan ritual. Dan hal ini bisa diketahui dari aroma hioswa dan minyak wangi yang menyeruak dari salah satu ruangan di dalam gua tersebut. Karena agaknya ruangan tersebut memang kerap dipakai untuk menggelar ritual.

Ritual di dalam goa itu sebenarnya adalah rangkaian dari ritual yang biasa dilakukan di Candi Gondoarum yang berada tidak jauh dari Goa Seplawan. Candi Gondoarum sendiri saat ini nyaris tak berbentuk lagi. Yang tersisa hanyalah bekas-bekas pondasi dasar candi, yang sepintas terlihat mirip batu biasa yang berserakan. Hanya saja yang membedakan adalah, adanya beberapa guratan ukiran pada beberapa sisi batu yang bila dirangkai bisa saling berhubungan.

“ Candi ini diduga lebih tua dari pada Candi Borobudur. Dan disebut Gondoarum karena waktu lingga yoninya diangkat, keluar semerbak bau harum. Sehingga sampai sekarang tidak ada orang yang berani berbuat jelek di tempat ini. “

Letak lingga yoni itu sendiri tepat di samping candi, dan sekarang telah dibuatkan satu cungkup sederhana untuk melindunginya. Sebenarnya pihak museum berniat mengamankan benda itu. Namun sepertinya “ penunggu “nya tidak mengijinkan. Sehingga sampai sekarang batu yang merupakan simbol penyatuan kehidupan tersebut tetap dibiarkan di tempat semula.

Disamping Potensi Wisata Goa Seplawan di Desa Donorejo, Kecamatan Kaligesing juga terdapat Potensi Hasil Ternak yaitu Hasil Ternak Kabing Etawa. Kabing Perankan Etawa ( PE ) merupakan keturunan kambing Etawa asal India yang dibawa oleh penjajah Belanda yang kemudian disilangkan dengan kambing lokal di Kaligesing. Pada saat ini kambing PE ini dikenal sebagai Ras Kambing Peranakan Etawa asli Kaligesing Purworejo.

Menurut perkembangannya kambing PE menyebar ke berbagai wilayah di Kabupaten Purworejo bahkan keluar Purworejo ( Kulon Progo, Kendal, Sidoarjo Jatim ). Kambing PE ini mempunyai ciri khas yaitu : bentuk muka cembung, telinga panjang menggantung, postur tubuh tinggi ( gumba ) 90 – 110 cm, bertanduk panjang dan ramping. Kambing berkembang dengan baik panjang dan besar, warna bulu beragam belang putih, merah coklat, bercak-bercak hitam atau kombinasi ketiganya, dan pada bagian belakang terdapat bulu yang lebat dan panjang.
Dalam waktu yang tidak lama lagi kawasan gua ini akan dikembangkan menjadi sarana olah raga seperti layang gantung ( gantole ), camping, hiking, panjat tebing, dan keadaan alam sekitarnya sangat mendukung untuk kegiatan avonturir.





kuto purworejo

tari dolala

Rabu, 02 November 2011

Sejarah Purworejo

 Hamparan wilayah yang subur di Jawa Tengah Selatan antara Sungai Progo dan Cingcingguling sejak jaman dahulu kala merupakan kawasan yang dikenal sebagai wilayah yang masuk Kerajaan Galuh. Oleh karena itu menurut Profesor Purbocaraka, wilayah tersebut disebut sebagai wilayah Pagaluhan dan kalau diartikan dalam bahasa Jawa, dinamakan : Pagalihan. Dari nama “Pagalihan” ini lama-lama berubah menjadi : Pagelen dan terakhir menjadi Bagelen. Di kawasan tersebut mengalir sungai yang besar, yang waktu itu dikenal sebagai sungai Watukuro. Nama “ Watukuro “ sampai sekarang masih tersisa dan menjadi nama sebuah desa terletak di tepi sungai dekat muara, masuk dalam wilayah Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo. Di kawasan lembah sungai Watukuro masyarakatnya hidup makmur dengan mata pencaharian pokok dalam bidang pertanian yang maju dengan kebudayaan yang tinggi.
Pada bulan Asuji tahun Saka 823 hari ke 5, paro peteng, Vurukung, Senin Pahing (Wuku) Mrgasira, bersamaan dengan Siva, atau tanggal    5 Oktober 901 Masehi, terjadilah suatu peristiwa penting, pematokan Tanah Perdikan (Shima). Peristiwa ini dikukuhkan dengan sebuah prasasti batu andesit yang dikenal sebagai prasasti Boro Tengah atau Prasasti Kayu Ara Hiwang.
Prasasti yang ditemukan di bawah pohon Sono di dusun Boro tengah, sekarang masuk wilayah desa Boro Wetan Kecamatan Banyuurip dan sejak tahun 1890 disimpan di Museum Nasional Jakarta Inventaris D 78 Lokasi temuan tersebut terletak di tepi sungai Bogowonto, seberang Pom Bensin Boro.
Dalam Prasasti Boro tengah atau Kayu Ara Hiwang tersebut diungkapkan, bahwa pada tanggal 5 Oktober 901 Masehi, telah diadakan upacara besar yang dihadiri berbagai pejabat dari berbagai daerah, dan menyebut-nyebut nama seorang tokoh, yakni : Sang Ratu Bajra, yang diduga adalah Rakryan Mahamantri/Mapatih Hino Sri Daksottama Bahubajrapratipaksaya atau Daksa yang di identifikasi sebagai adik ipar Rakal Watukura Dyah Balitung dan dikemudian hari memang naik tahta sebagai raja pengganti iparnya itu.
Pematokan (peresmian) tanah perdikan (Shima) Kayu Ara Hiwang dilakukan oleh seorang pangeran, yakni Dyah Sala (Mala), putera Sang Bajra yang berkedudukan di Parivutan.
Pematokan tersebut menandai, desa Kayu Ara Hiwang dijadikan Tanah Perdikan(Shima) dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, namun ditugaskan untuk memelihara tempat suci yang disebutkan sebagai “parahiyangan”. Atau para hyang berada.
Dalam peristiwa tersebut dilakukan pensucian segala sesuatu kejelekan yang ada di wilayah Kayu Ara Hiwang yang masuk dalam wilayah Watu Tihang.
“ … Tatkala Rake Wanua Poh Dyah Sala Wka sang Ratu Bajra anak wanua I Pariwutan sumusuk ikanang wanua I Kayu Ara Hiwang watak Watu Tihang …”
Wilayah yang dijadikan tanah perdikan tersebut juga meliputi segala sesuatu yang dimiliki oleh desa Kayu Ara Hiwang antara lain sawah, padang rumput, para petugas (Katika), guha, tanah garapan (Katagan), sawah tadah hujan (gaga).
Disebut-sebutnya “guha” dalam prasasti Kayu Ara Hiwang tersebut ada dugaan, bahwa guha yang dimaksud adalah gua Seplawan, karena di dekat mulut gua Seplawan memang terdapat bangunan suci Candi Ganda Arum, candi yang berbau harum ketika yoninya diangkat. Sedangkan di dalam gua tersebut ditemukan pula sepasang arca emas dan perangkat upacara. Sehingga lokasi kompleks gua Seplawan di duga kuat adalah apa yang dimaksud sebagai “parahyangan” dalam prasasti Kayu Ara Hiwang.
Upacara 5 Oktober 901 M di Boro Tengah tersebut dihadiri sekurang-kurangnya 15 pejabat dari berbagai daerah, antara lain disebutkan nama-nama wilayah : Watu Tihang (Sala Tihang), Gulak, Parangran Wadihadi, Padamuan (Prambanan), Mantyasih (Meteseh Magelang), Mdang, Pupur, Taji (Taji Prambanan) Pakambingan, Kalungan (kalongan, Loano).
Kepada para pejabat tersebut diserahkan pula pasek-pasek berupa kain batik ganja haji patra sisi, emas dan perak. Peristiwa 5 Otober 901 M tersebut akhirnya pada tanggal 5 Oktober 1994 dalam sidang DPRD Kabupaten Purworejo dipilih dan ditetapkan untuk dijadikan Hari jadi Kabupaten Purworejo. Normatif, historis, politis dan budaya lokal dari norma yang ditetapkan oleh panitia, yakni antara lain berdasarkan pandangan Indonesia Sentris.
Perlu dicatat, bahwa sejak jaman dahulu wilayah Kabupaten Purworejo lebih dikenal sebagai wilayah Tanah Bagelen. Kawasan yang sangat disegani oleh wilayah lain, karena dalam sejarah mencatat sejumlah tokoh. Misalnya dalam pengembangan agama islam di Jawa Tengah Selatan, tokoh Sunan Geseng diknal sebagai muballigh besar yang meng-Islam-kan wilayah dari timur sungai Lukola dan pengaruhnya sampai ke daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupatn Magelang.
Dalam pembentukan kerajaan Mataram Islam, para Kenthol Bagelen adalah pasukan andalan dari Sutawijaya yang kemudian setelah bertahta bergelar Panembahan Senapati. Dalam sejarah tercatat bahwa Kenthol Bagelen sangat berperan dalam berbagai operasi militer sehingga nama Begelen sangat disegani.
Paska Perang Jawa, kawasan Kedu Selatan yang dikenal sebagai Tanah Bagelen dijadikn Karesidenan Bagelen dengan Ibukota di Purworejo, sebuah kota baru gabungan dari 2 kota kuno, Kedungkebo dan Brengkelan.
Pada periode Karesidenan Begelen ini, muncul pula tokoh muballigh Kyai Imam Pura yang punya pengaruh sampai ke Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hampir bersamaan dengan itu, muncul pula tokoh Kyai Sadrach, penginjil Kristen plopor Gereja Kristen Jawa (GKJ).
Dalam perjalanan sejarah, akibat ikut campur tangannya pihak Belanda dalam bentrokan antara para bangsawan kerajaan Mataram, maka wilayah Mataram dipecah mejadi dua kerajaan. Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Tanah Bagelen akibat Perjanjian Giyanti 13 pebruari 1755 tersebut sebagai wilayah Negara Gung juga dibagi, sebagian masuk ke Surakarta dan sebagian lagi masuk ke Yogyakarta, namun pembagian ini tidak jelas batasnya sehingga oleh para ahli dinilai sangat rancu diupamakan sebagai campur baur seperti “rujak”.
Dalam Perang Diponegoro abad ke XIX, wilayah Tanah Bagelen menjadi ajang pertempuran karena pangeran Diponegoro mndapat dukungan luas dari masyarakat setempat. Pada Perang Diponegoro itu, wilayah Bagelen dijadikan karesidenan dan masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda dengan ibukotanya Kota Purworejo. Wilayah karesidenan Bagelen dibagi menjadi beberapa kadipaten, antara lain kadipaten Semawung (Kutoarjo) dan Kadipaten Purworejo dipimpin oleh Bupati Pertama Raden Adipati Cokronegoro Pertama. Dalam perkembangannya, Kadipaten Semawung (Kutoarjo) kemudian digabung masuk wilayah Kadipaten Purworejo.
Dengan pertimbangan strategi jangka panjang, mulai 1 Agustus 1901, Karesienan Bagelen dihapus dan digabungkan pada karesidenan kedu. Kota Purworejo yang semula Ibu Kota Karesidenan Bagelen, statusnya menjadi Ibukota Kabupaten.
Tahun 1936, Gubernur Jenderal Hindia belanda merubah administrasi pemerintah di Kedu Selatan, Kabupaten Karanganyar dan Ambal digabungkan menjdi satu dengan kebumen dan menjadi Kabupaten kebumen. Sedangkan Kabupaten Kutoarjo juga digabungkan dengan Purworejo, ditambah sejumlah wilayah yang dahulu masuk administrasi Kabupaten Urut Sewu/Ledok menjadi Kabupaten Purworejo. Sedangkan kabupaten Ledok yang semula bernama Urut Sewu menjadi Kabupaten Wonosobo.
Dalam perkembangan sejarahnya Kabupaten Purworejo dikenal sebagai pelopor di bidang pendidikan dan dikenal sebagai wilayah yang menghasilkan tenaga kerja di bidang pendidikan, pertanian dan militer.
Tokoh-tokoh yang muncul antara lain WR Supratman Komponis lagu Kebangsaan “Indonesia raya”. Jenderal Urip Sumoharjo, Jenderal A. Yani, Sarwo Edy Wibowo dan sebagainya.
Para tokoh maupun tenaga kerja di bidang pertanian pendidikan, militer, seniman dan pekerja lainnya oleh masyarakat luas di tanah air dikenal sebagai orang-orang Bagelen, nama kebangsaan dan yang disegani baik di dalam maupun di luar negeri.

bedug

Bedug Purworejo

Bedug merupakan sebuah alat yang biasanya digunakan di masjid-masjid atau musholla (kebanyakan di daerah Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur) untuk memberitahukan telah masuk waktu sholat bagi orang Islam, paling sering ditabuh pada hari Jumat, sebelum sholat Jumat. Salah satu bedug terbesar, konon terbesar di dunia seperti yang tertulis di data-data tentang bedug tersebut adalah Bedug Masjid Jami’ Purworejo, Jawa Tengah. Bedug tersebut terbuat dari kayu jati, sering disebut kayu jati Pendowo.
bedugpurworejo.jpg
Bedug itulah yang selama ini disebutkan sebagai kelebihan Purworejo, dalam hal peninggalan budaya masa lalu. Selanjutnya diarahkan menjadi daya tarik wisata Purworejo. Apakah bedug tersebut benar-benar menajdi daya tarik Purworejo? Secara pasti saya kurang tahu, tetapi dari beberapa kali saya ke Purworejo kalau sedang pulang kampung, dan sempat ke Masjid Jami’ Purworejo, meskipun hari libur panjang, tetapi pengunjung atau orang yang sholat di masjid itu dan memperhatikan bedug yang terletak di sebelah depan-kiri itu, ternyata tidak begitu banyak.
databedugpurworejo.jpg
Setelah disebut atau diklaim sebagai bedug terbesar, lalu apa yang mesti dilakukan? Apakah hanya berhenti seperti itu? Sebenarnya kalau kita (terutama warga Purworejo, di daerah asal maupun di perantauan) mau lebih dalam memaknai, maka seharusnya ada upaya-upaya untuk mengambil sikap, menjadi lebih arif, lebih bersemangat dalam belajar dan bekerja/berkarya, dan sebagainya. Sangat sering simbol yang pada penciptaanya dimaksudkan agar dipelajari dan dikupas maknanya secara lebih dalam, tetapi hanya berhenti hanya sebagai simbol yang diam, bisu dan tak berarti. Masyarakat Indonesia, terutama Jawa yang akrab dengan simbolisme, dalam beberapa tahun ini menjadi kian pragmatis. Tidak mau dengan pemikiran yang dianggap kuno dan memakan banyak waktu, tetapi lebih suka yang praktis dan banal, lebih sering menukai hal-hal yang sedang dan mudah jadi trend atau mainstream.
Kian banyak masjid atau musholla yang bangunan fisiknya megah, tetapi apakah sehabis maghrib masih seramai dulu? Dulu waktu musholla atau kadang disebut langgar masih berdinding anyaman bambu, berlantai kayu karena bangunan rumah panggung, berlampu minyak tanah; sebelum ada listrik masuk desa, sebelum banyak televisi di rumah-rumah, sehabis maghrib banyak orang mengaji di musholla dan di rumah.

peta purworejo